Sabtu, 28 Juli 2012

Tarung Bebas, Tradisi NU Sejak Penjajahan Belanda


Suasana tarung bebas di Probolinggo, Jatim. (Dok: Sun TV)
Suasana tarung bebas di Probolinggo, Jatim. (Dok: Sun TV)
 PROBOLINGO- Tarung bebas sudah menjadi tradisi warga Nahdlatul Ulama di Probolinggo, Jawa Timur. Layaknya tinju bebas, peserta saling baku hantam tanpa pelindung, namun tidak ada dendam.

Peserta saling baku hantam di atas arena. Tradisi ini merupakan warisan sejak masa penjajahan Belanda.

Suasana tarung bebas di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong di Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo, Sabtu kemarin, sekilas terlihat seperti pertandingan tinju.

Namun bila diamati ada perbedaan dalam pertandingan ini. Semua peserta tampil tanpa dilengkapi dengan pelindung tubuh atau pengaman lain. Mayoritas peserta adalah para santri dari 27 pondok pesantren di Jawa Timur.

Sesuai dengan namanya tarung bebas, dua peserta diujinyalinya untuk bertarung secara bebas.

Abidin, salah satu peserta tarung bebas, mengaku sudah 6 tahun mengikuti kegiatan ini. Peserta, kata dia, dibebaskan untuk memukul, menendang, mengunci, bahkan membanting lawan.

Hanya saja setiap peserta yang bertarung dibatasi selama 5 sampai 10 menit dengan pengawasan ketat oleh wasit.

Selain memastikan pertandingan berjalan adil, wasit juga bertugas mengontrol emosi peserta sehingga tidak berlebihan apalagi sampai muncul dendam.

Tidak ada yang kalah dan menang dalam pertandingan ini karena dihelat bertujuan untuk melestarikan warisan leluhur dan media pemersatu warga Nahdliyin.

Tarung bebas, pada zaman kemerdekaan digunakan sebagai alat membela diri dan mengusir penjajah dari Tanah Air. Tarung bebas juga identik dengan Perguruan Pagar Nusa.

(Hana Purwadi/RCTI/ton)