Sabtu, 28 Juli 2012

Pencak Silat tak Sekadar Seni Bela Diri

 
Pencak_Silat.JPG
bangkapos.com/ichsan
Pencak silat
Laporan Wartawan Bangka Pos, Ichsan Mokoginta Dasin

BANGKAPOS.COM
, BANGKA -- Pencak silat tak sekadar olahraga atau  seni bela diri. Dalam tradisi masyarakat tertentu, silat memiliki nilai-nilai holistik, bahkan dijadikan sarana 'mengukuhkan' kekuatan ruhiyah agar seorang hamba lebih dekat dengan Tuhannya.

Prosesi untuk menguasai beragam gerak atau jurus silat, tentu tak segampang menguasai gerak senam misalnya. Akan tetapi, untuk seni bela diri pencak silat yang menekankan nilai-nilai holistik, tak saja memerlukan kesiapan jasmaniah yang baik, melainkan juga rohaniyah yang bersih.

Bahkan, untuk pelaksanaan latihan dan khataman (betamat/namat silat), harus dilaksanakan pada hari baik dan bulan baik.

Malam bulan ke-14 hingga ke-17, adalah waktu yang oleh sebagian perguruan silat dimanfaatkan untuk menggelar latihan dan khataman. Tak diketahui secara pasti mengapa bagi sebagian besar perguruan silat tradisional (khususnya di Pulau Bangka)  menggunakan malam-malam tertentu untuk menggelar latihan dan khataman.

Bagi sebagian besar perguruan silat tradisional, alam sesungguhnya diyakini memiliki kekuatan yang maha dahsyat dan sebagian kecil kekuatan tersebut dapat 'disalurkan'  ke dalam raga manusia melalui prosesi dan ritual khusus. Inilah barangkali menjadi alasan mengapa latihan dan khataman silat selalu dilaksanakan pada saat-saat bulan purnama (14 hingga 17 hari bulan).

Namun dalam pandangan yang lebih logis, alam pada dasarnya tak lebih sebagai media interaksi (sunatullah) dalam rangka membantu manusia mengenal Tuhannya dan dalam kondisi tertentu menjadi alat mempermudahkan aktivitas manusia itu sendiri.

Saat puranama misalnya, akan mempermudah orang-orang tempo dulu melakukan aktivitas (seperti berlatih silat) karena purnama merupakan satu-satunya media penerangan yang bisa digunakan untuk memperlancar aktivitas di malam hari bagi orang-orang tempo dulu.

Dari sekian banyak perguruan silat tradisional di Pulau Bangka,  nama Perguruan Silat Telaga Putih, tentu sudah tak asing bagi masyarakat di Kecamatan Mendobarat dan sekitarnya.  Perguruan silat yang dikelola secara turun temurun ini, sudah melahirkan ratusan 'pendekar' pilih tanding.

Awal bulan lalu, Perguruan Silat Telaga Putih yang diketuai oleh Asar (60) ini 'menamatkan' sedikitnya 40 orang murid. Sebagai salah satu perguruan silat tradisional, aliran silat Telaga Putih merupakan perpaduan antara unsur bela diri dan tenaga gaib.

Kedua-keduanya menjadi satu kesatuan yang tak boleh dipisahkan mengingat  proses untuk mendapatkan  jurus-jurusnya berawal dari sebuah ritual khusus.

Tak saja kesiapan raga, namun keimanan juga menjadi penentu dari kesempurnaan jurus-jurus yang dipelajari. Singkat kata, Perguruan Silat Telaga Putih, tak sekadar mengajarkan jurus-jurus bela diri, akan tetapi juga mengajarkan agar manusia lebih dekat dengan Tuhan.

Semakin dekat dengan Tuhan, akan semakin mudah dan cepat untuk memahami jurus-jurus yang diajarkan. Sebaliknya, jika suatu ketika menjauhkan diri ajaran Tuhan, maka jurus maupun kekuatan yang dimiliki akan menjadi tak berguna dengan sendirinya.

Dalam prosesi khataman, selaku ketua, Asar tak henti-hentinya memberi petuah bahwa segenap kekuatan yang telah ia salurkan, hanya boleh digunakan untuk kebaikan semata (amar ma'ruf nahi munkar).

Oleh sebab itu, prosesi khataman tidak dilakukan secara serampangan. Hanya murid yang dinilai layak saja yang boleh mengikuti khataman. Jika dipaksakan terhadap murid yang dinilai belum siap, maka proses penyaluran tenaga dalam akan keluar kembali dengan sendirinya.

Demikianlah, kekuatan supranatural ternyata mampu menyatu dalam raga manusiawi, yakni raga orang-orang yang bersih dan terpilih.